Pilihan Anda

selamat datang


web widgets

assalam

اَسْلَامُ عَلَيْكُم وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Senin, 27 Januari 2014

Syariat Islam Di Aceh Sebuah Kemusykilan


 
 
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa orang Aceh adalah orang yang sangat fanatikterhadap Islam. Mereka rela melakukan apa saja untuk mempertahankan agamanya termasukberperang sekalipun. Sifat keras terhadap para penentang Islam seperti sudah menjadi karakter yangmendarah daging bagi masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh akan sangat marah dan murka jika ada orangyang melecehkan Islam meskipun sebagian dari mereka Cuma mengenal islam secara parsial disebabkanfaktor keturunan.Gejala fanatisme orang Aceh dapat kita saksikan ketika beberapa waktu lalu terjadi penyebaranaliran sesat Millah Abraham di Aceh. Masyarakat Aceh dengan semangat menggebu
 –
gebu bangkitsecara bersama
 –
sama untuk melawan dan mengusir para tertuduh sesat, meskipun kesesatan tersebutbelum terbukti di meja pengadilan.
Dalam konteks Fiqh mayoritas masyarakat Aceh mengaku bermazhab Syafi’i, namun penulis juga
tidak mampu memastikan apakah hal tersebut merupakan sebuah pengetahuan atau hanya sebataspengakuan. Satu hal lagi yang aneh menurut penulis bahwa secara teoritis ulama
 –
ulama tradisional diAceh mengakui dan membenarkan keberadaan empat mazhab dalam Islam yakni Mazhab Hanafi,
Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali.
Namun secara aplikatif mereka cenderung
menafikan kebenaran mazhab selain mazhab Syafi’i.
Penerapan Syariat Islam di Aceh
Dalam amatan penulis semenjak diimplementasikannya Syariat Islam di Aceh penulis melihatbelum ada perubahan yang signifikan terutama menyangkut perilaku masyarakat. Perubahan yangnampak mencolok masih terbatas pada simbol seperti penggunaan tulisan Arab
 –
Melayu pada pamfletdan papan nama di kantor pemerintahan. Di bidang pendidikan memang ada sedikit perubahan dengandimasukkannya tambahan pelajaran agama dalam kurikulum sekolah umum. Namun jika dilihat dari
 
aspek perilaku masyarakat menurut penulis tidak ada bedanya perilaku masyarakat hari ini jikadibanding dengan perilaku masyarakat sebelum penerapan syariat Islam.Jika dulu kita menyaksikan perempuan di Aceh khususnya di daerah perkotaan jarangmenggunakan jilbab dan pakaian muslimah, hari ini juga tidak berbeda jauh, meskipun sebagian darimereka sudah menggunakan jilbab namun pakaian ketat masih menjadi favorit. Demikian jugapergaulan bebas muda
 –
mudi hampir tidak ada bedanya dengan daerah lain.Adapun qanun (sejenis Perda) tentang mesum dalam amatan penulis hanya menjadi hukum
bagi masyarakat awam, sedangkan golongan elit terkesan luput dari pantauan Polisi Syari’at (Wilayatul
Hisbah). Sebagai contoh kita bisa menyaksikan bagaimana bebasnya para artis dan penyanyi perempuandi Aceh yang sesuka hatinya membuka aurat tetapi tidak tersentuh oleh qanun. Padahal aurat merekabisa ditonton oleh seluruh masyarakat Aceh dan luar Aceh melalui VCD. Jika ada masyarakat awam yangmemakai pakaian ketat tak segan
 –
segan aparat Wilayatul Hisbah (WH) menegur dan membawamereka ke kantor. Tapi pada saat para artis menggoyang
 –
goyangkan pinggulnya yang bahenol, petugasWH seperti menutup mata dan terhipnotis sehingga tidak mampu berbuat apa
 –
apa.Pelanggaran demi pelanggaran terus terjadi di Aceh dan terkesan bahwa qanun tak ubahnyaseperti peraturan tumpul yang tidak berdaya. Ditambah lagi dengan moral hewani yang dimiliki olehbeberapa oknum WH. Mereka (oknum WH) ditugaskan
mengawal penerapan syari’
at Islam tapi malahdia sendiri yang melakukan pelecehan seksual.
Pendidikan berbau Sekuler
Meskipun sekolah umum dan sekolah Agama di Aceh sudah memiliki kurikulum yang nyarissama dengan dimasukkannya pelajaran Fiqih, Akidah Akhlak dan Quran Hadits dalam kurikulum sekolahumum, namun penulis melihat corak pendidikannya masih berbau sekuler. Kenapa tidak? Pada waktu
 
 jam sekolah (kurikuler) anak didik diajarkan pendidikan agama dan mereka dituntut untuk beragamasecara benar. Bagi anak didik perempuan mereka diwajibkan memakai pakaian muslimah, demikian jugabagi anak didik laki
 –
laki diwajibkan memakai celana panjang. Namun pada saat kegiatan ekstrakurikuler mereka diberi kebebasan berekspresi sesuai selera hati mereka. Jika pada waktu jam sekolahpara siswi terlihat memakai jilbab dan pakaian muslimah, berbeda halnya ketika mereka melakukanlatihan tari. Mereka Cuma memakai topi pet dengan rambut terurai dan memakai celana pendeksehingga tampak seksi dengan betis yang mengkilap. Mereka dengan semangatnya meloncat
 –
loncatdan menggoyangkan pinggul, di depannya terlihat para guru menepuk tangan dengan girangnya,mungkin mereka (guru) merasa kagum melihat betis
 –
betis indah tersingkap sehingga menyilaukanmata para penonton.Dimana syariat Islam ketika fenomena ini terjadi? Apa gunanya kita mengajarkan merekapelajaran Akidah
 –
Akhlak disekolah? Apa manfaatnya nilai Sembilan pada pelajaran Quran
 –
Haditsbagi mereka? Apakah kita akan membenarkan kesalahan ini dengan menyebut perilaku tersebut sebagaisebuah kreativitas seni? Wallahul Waliyut Taufiq.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar