Pilihan Anda

selamat datang


web widgets

assalam

اَسْلَامُ عَلَيْكُم وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Selasa, 21 Januari 2014

Meunasah, Keudee, dan Kanto

Oleh Munawar A. Djalil
KARAKTER gampong di Aceh yang utama terletak pada generasi pertamanya yang merupakan sebuah keluarga besar sehingga mereka memiliki jalinan kekerabatan yang erat yang berbasis pada keluarga-keluarga di jurong-jurong. Gampong dapat dikatagorikan sebagai sebuah wilayah geneologis (seketurunan), di mana masyarakatnya terikat atas dasar kesetiakawanan atau solidaritas karena memiliki komitmen moral yang dimotivasi oleh sistem keyakinan yang satu, yakni Islam. Meskipun ada kalanya komitmen moral itu hilang dan digantikan oleh komitmen emosional yang didorong oleh ikatan kekerabatan (perkauman) yang sama sekali tidak memiliki landasan keagamaan.
Dari aspek transformasi demografis gampong menjadi semakin padat penduduknya. Jumlah warga lelaki yang dewasa, terutama di gampong yang dekat perkotaan, sudah melebihi ribuan jiwa. Lalu tali kekerabatan semakin melemah, dan cenderung putus. Trasformasi demografis ini ternyata tidak diikuti oleh trasformasi kelembagaan gampong. Yaitu perubahan peran balee dan meunasah (dalam arti pemajemukan fungsi) yang cenderung merosot, baik sebagai tempat pelaksanaan ritual maupun sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan-kegiatan duniawi, seperti tempat pemecahan masalah sosial secara adat atau tempat membahas kebijaksanaan gampong (desa).
Balee, misalnya, dulu adalah sebagai tempat persinggahan dan interaksi sosial informal antar warga jurong. Di situ mereka menjalin silaturrahmi setelah keterlibatan mereka seharian di sawah, di keudee (warung/pasar) ataupun di kanto (kantor). Mereka membicarakan problemnya yang kemungkinan dapat diperbincangkan ke tingkat yang lebih tinggi dan luas, serta lebih formal yakni di meunasah. Fungsi tradisional meunasah di Aceh adalah sebagai tempat musyawarah untuk mencari pemecahan atas problem kehidupan bersama.
Aparatur desa (peutua gampong), imuem meunasah, dan tuha peut serta masyarakat pada umumnya adalah partisipan aktif dalam musyawarah tersebut. Sebuah keputusan tidak hanya mempertimbangkan keabsahan hukum saja, tapi juga diterima menjadi komitmen bersama tanpa harus melalui proses sosialisasi lebih lanjut. Fungsi meunasah telah tereduksi karena hanya sebagai tempat penyelenggaraan ritual, demikian juga peringatan-peringatan hari besar Islam seperti Maulid Nabi, sementara peran adatnya semakin lemah.
Transformasi demografis tersebut mendorong munculnya trasformasi ekonomis, karena sawah sebagai basis produksi tak mampu lagi menampung ledakan tenaga kerja, bahkan hasil produksi pertanian ini tak lagi mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga yang semakin tinggi nilainya serta semakin banyak ragamnya. Bahkan, oleh jaraknya yang dekat dengan kota, fungsi sawah telah beralih menjadi lahan bagi perumahan penduduk. Kesulitan ekonomi mulai menonjol dan bersamaan dengan itu kebersamaan semakin memudar karena masing-masing warga harus lebih mengutamakan diri dan keluarganya. Etika sosial yang berlaku bukanlah mengutamakan selamat secara bersama, tetapi secara individual.
Problem sosial ini semakin dipertajam dengan transformasi politis. Di satu pihak, prosedur dan mekanisme pemilihan kepala desa yang sudah diintervensi oleh kekuatan birokrasi. Di lain pihak semakin lemahnya religuisitas imuem meunasah di mata masyarakat Aceh. Peutua gampong dan imuem meunasah di hadapan masyarakat tak sebagaimana kata pepatah “lagee ku ngon ma”. Apa yang terjadi adalah “saboh rumoh dua tanglong, saboh gampong dua peutua”. Bahkan kedua pilar gampong tersebut tak lebih dari simbolisasi dari ku’eh dan amarah.
 Tiga kutub kehidupan
Dinamika kehidupan sosial masyarakat gampong di Aceh tercermin pada interaksi sosial yang terjadi di satu kutub pada meunasah, balee, dan masjid. Sementara kegiatan bertani di sawah sebagai basis produksi dan keudee sebagai kutub kedua menjadi tempat pertukaran komuniti di samping memiliki berbagai fungsi budaya lainnya, misalnya, pertukaran informasi dan pertemuan sosial. Nah, ketika posisi negara semakin kuat dan posisi rakyat semakin lemah, ditambah dengan birokrasi yang personal maka kanto merupakan kutub ketiga, yang melalui kebijaksanaan peutua atau keuchik berusaha mengubah perilaku masyarakat gampong.
Dari segi tata ruang, kedua kutub pertama tersebut menyimbolkan hal-hal yang duniawi dan non-duniawi yang selalu berdampingan, sedang kanto tersendiri letaknya. Dengan kata lain, bahwa ritual di meunasah yang memperkaya religiusitas dan memformat perilaku individu dalam berinteraksi di keudee supaya tak menyimpang dari norma-norma agama. Sebaliknya, pertukaran di keudee memberikan kontribusi yang besar bagi berdirinya fundasi ekonomi rumah tangga yang kuat lagi halal. Fundasi ekonomi tersebut bagi masyarakat Aceh akan menghindarkan anggota keluarga dari kekufuran. Lalu, komitmen moral yang kuat, yang ditopang oleh otoritas moral teungku meunasah, maka masyarakat dapat mengontrol kebijakan dan kinerja peutua gampong.
Akan tetapi, fonemena saat ini tampaknya menegaskan adanya jurang pemisah yang tajam antara meunasah, keudee, dan kanto. Di mana keterlibatan individu dalam ritual keagamaan di meunasah tak ada kaitannya dengan perilaku individu dalam berinteraksi di keudee, dan kanto, demikian pula sebaliknya. Apalagi dinamika ritual di meunasah semakin merosot, baik kualitatif (kesakralan ritual) maupun kuantitatif (frekuensi ritual).
Sementara keudee semakin berkembang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, dan memperkeruh atmosfer kehidupan bahwa uang adalah sangat berarti, sehingga muncul satu pameo dalam masyarakat Aceh hana peng hana inong. Lalu, kanto berubah menjadi kekuatan politik yang mampu mempengaruhi atmosfir kehidupan di gampong, baik karena peutua gampong telah menjadi perpanjangan tangan birokrasi maupun karena ‘mitos’ bahwa hidup ini hanya berkelanjutan dan keturunan akan terpelihara bila ada kekuasaan di tangan. Singkatnya interaksi sosial didominasi oleh hal-hal yang duniawi sifatnya.
Ketiga kutub kehidupan tersebut saling bergulat untuk menarik setiap individu ke arahnya. Masing-masing individu pun dapat memilih apakah ia ingin memiliki kepribadian yang dibentuk oleh meunasah sehingga ia menjadi religius, atau dibentuk oleh keudee sehingga berorientasi ekonomis, ataupun oleh kanto sehingga hidupnya selalu berorientasikan pada kekuasaan. Karenanya individu dihadapkan dengan sejumlah pilihan jalan hidup yang seakan-akan tidak memiliki keterkaitan satu sama lainnya.
 Pilihan dilematis
Akan tetapi, ketika satu pilihan ditetapkan, ternyata muncul pilihan dilematis sehingga individu itu memberlakukan standar etik ganda (dualitas). Sehingga satu waktu ia terlibat dalam ritual-ritual keagamaan di meunasah, bahkan menjadi aktornya (sebagai juru khutbah misalnya). Sementara, pada waktu lainnya ia adalah seorang aktor di keudee atau di kanto yang tindakannya terkadang cenderung menyimpang dari apa yang dikhutbahkannya sendiri.
Permasalahannnya adalah jika keudee bisa berkembang menjadi pasar dan peutua menjadi bagian dari jaringan birokrasi yang sangat politis, maka meunasah cenderung stagnan. Meunasah tak berkembang menjadi masjid, tapi juga belum sepenuhnya disfungsional seperti balee. Hal ini merupakan sebuah bentuk transformasi sosial yang mendasar yang berlangsung di gampong. Di mana gampong telah berubah sehingga mempengaruhi solidaritas sosial masyarakatnya. Komitmen pada moral semakin lemah, digantikan kepentingan-kepentingan yang lebih bersifat duniawi, serta semakin membuat jarak antarkutub kehidupan masyarakat, meunasah, keudee dan kanto. Komitmen moral yang ditempa di meunasah semakin mencair, sementara komitmen ekonomis yang dibentuk oleh keudee dan komitmen politis yang dipaksakan oleh kanto semakin kuat.
Akhirnya, lembaga gampong seperti meunasah telah tereduksi perannya, apalagi balee. Akibatnya, komitmen moral mencair sehingga masing-masing individu cenderung berjuang untuk mencari selamatnya sendiri-sendiri (peuseulamat droe keu droe). Gampong kini bak keluarga yang retak, menjadi masyarakat yang terpecah, yang sebelah kakinya berada di meunasah dan sebelah kaki lainnya berada di keudee atau kanto. “Donya ka akhe, taduek bak meunasah han malem le, tahareukat di keudee han kaya, tajak u kanto tan kuasa le” (Dunia hampir kiamat, duduk di meunasah tidak akan alim, berniaga tidak akan kaya, dan duduk di kantor tak ada kuasa lagi).
editor aburul

Tidak ada komentar:

Posting Komentar